Sabtu, 17 September 2011

Anak Merapi Menanam "Siaga" Lewat Buku

MAGELANG (RB-AAA) - Mereka bergegas membuka-buka buku berjudul "Siaga" yang baru saja disumbangkan penulisnya melalui Rumah Baca Komunitas Merapi (RBKM) di desa terakhir kawasan barat puncak gunung berapi tersebut. Sebelumnya Euphrosienha S. Martini, penulis buku edukatif tentang karakter anak lereng Gunung Merapi di perbatasan antara Jawa Tengah dengan Daerah Istimewa Yogyakarta itu, juga mengajarkan kepada anak-anak Merapi menyanyikan lagu berjudul "Siaga".

Lagu "Siaga" itu tertuang di halaman 16 dari total 18 halaman buku dengan berbagai ilustrasi "full colour" yang diterbitkan oleh Supreme Sukma Jakarta, pada Maret 2011 tersebut. Rumah baca yang pengelolaannya dipimpin seorang petani setempat, Sukisno itu terletak di desa terakhir dari puncak Gunung Merapi, di Dusun Gemer, Desa Ngargomulyo, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jateng.

Setelah Sukisno secara simbolis menerima buku itu dari penulisnya yang seorang guru di Sekolah Atisa Dipamkara Tangerang itu, belasan anak-anak usia sekolah dasar tersebut kemudian bergegas membuka plastik pembungkusnya dan mencari halaman, tempat lagu "Siaga" tertera.

Martini menyumbangkan belasan eksemplar buku karyanya itu untuk menambah koleksi bacaan anak-anak di RBKM tersebut. Setelah menemukan halaman buku yang berisi lagu itu, anak-anak Merapi kemudian bersama-sama menyanyikan tembang anak dengan birama 4/4 tersebut.

Martini berada di tengah-tengah mereka dan sambil bertepuk tangan turut menyanyikan lagu tersebut.
"Aku selalu siaga. Pasang mata pasang telinga. Tak pernah lengah slalu siap sedia. Agar terhindar dari bahaya. Aku selalu siaga. Dalam menghadapi apapun juga. Yang terjadi di sekitarku slalu waspada dan berjaga-jaga," demikian syair lagu yang menjadi bagian dari buku cerita tentang pendidikan karakter dengan inspirasi dari anak Merapi itu.

Sore itu, Martini didampingi suaminya, Tri Sunu yang guru di Sekolah Athalia Tangerang mengisi hari terakhir mereka mudik Lebaran 2011 dengan menyerahkan buku "Siaga" kepada RBKM. Rumah baca yang dibuka sejak beberapa tahun lalu itu, hingga saat ini telah mengoleksi sekitar tiga ribu eksemplar buku bacaan berbagai judul, sumbangan dari banyak kalangan baik di dalam maupun luar negeri.

"Terima kasih banyak karena Ibu Martini datang ke tempat sederhanaini dan bertemu langsung serta bercerita kepada anak-anak di RBKM ini, juga memberikan sumbangan buku tulisannya," kata Sukisno.

Ia menyatakan bahwa buku "Siaga" penting untuk dibaca oleh anak-anak yang tinggal di lereng Gunung Merapi terutama karena mereka secara periodik harus menghadapi ancaman letusan gunung berapi itu.
Martini memang berasal dari lereng Gunung Merapi di Desa Sumber, Kecamatan Dukun, tak jauh dari Desa Ngargomulyo. Terkait dengan kesempatan mudik Lebaran 2011, ia telah jauh hari merencanakan menyumbangkan buku karyanya itu untuk anak-anak Merapi.

Belasan anak-anak Merapi sore itu berkumpul dan duduk secara santai di atas karpet yang digelar di rumah baca di depan rumah tinggal Sukisno. Mereka secara saksama dan gembira menyimak cerita di buku tersebut yang dibacakan oleh Martini.

Buku itu bercerita tentang kesiagaan seorang anak Merapi bernama Giri dalam menghadapi bahaya letusan gunung berapi tersebut. Pada Oktober hingga November 2010, Gunung Merapi memasuki fase erupsi dan membuat ratusan ribu warga termasuk anak-anak berasal dari desa-desa di lereng gunung tersebut mengungsi ke berbagai tempat yang aman selama beberapa waktu. Kisah di buku itu nampak diawali dengan kecintaan tokoh utama anak tersebut, Giri, terhadap Gunung Merapi yang antara lain ditunjukkan dengan aktivitas di sekolahnya menggambar gunung tersebut.

Dengan didampingi ayahnya yang diilustrasikan mengenakan sarung dan bertutup kepala, belangkon, ia menyaksikan berita di televisi tentang peningkatan status aktivitas vulkanik Merapi dari normal, waspada, siaga, dan awas. Giri kemudian diceritakan dalam buku itu, bersiap-siap menghadapi kemungkinan datangnya bahasa letusan Merapi, termasuk memberitahu kawan-kawannya agar bersiaga.

Di akhir cerita, dikisahkan bahwa Giri bersama keluarga dan warga setempat mengungsi ke tempat yang aman dari bahaya letusan Merapi. "Kebetulan saya berasal dari Merapi ini, masa kecil saya di sini sehingga agak mengerti banyak tentang karakter masyarakat dan Merapi," kata Martini.

Perlu siaga

Ia mengaku cukup lama berkeinginan menulis buku tentang anak-anak dan inspirasi atas Merapi. Terlebih saat menyimak perkembangan berita terkait dengan fase erupsi Merapi akhir 2010, keinginannya itu makin kuat. Apalagi, katanya, di Indonesia tidak hanya Gunung Merapi yang memiliki aktivitas vulkanik tinggi secara periodik.

"Anak-anak perlu mendapatkan dorongan bersikap siaga, untuk anak-anak di berbagai lereng gunung berapi, hal itu menjadi kebutuhan penting, untuk memperkecil korban. Mengungsi dari bahaya letusan gunung seharusnya menjadi hal yang makin mudah untuk dilakukan masyarakat," katanya.

Tetapi, katanya, buku "Siaga" tak sekadar mendorong masyarakat terutama anak-anak selalu berjaga dari bahaya letusan Gunung Merapi. Sifat buku itu yang cenderung memuat nilai-nilai pendidikan karakter, katanya, menumbuhkan dorongan kepada anak-anak untuk bersikap siaga baik di rumah, sekolah, maupun tempat bermain.

"Dimanapun berada, karakter tentang siaga patut ditanamkan kepada anak," kata Martini yang menamatkan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Pangudi Luhur Yogyakarta pada 1988 dan kemudian melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Kateketik "Pradnyawidya" Yogyakarta (sekarang bergabung dengan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta) hingga lulus pada 1994.

Sikap siaga terutama untuk kalangan anak dimanapun berada, yang ingin ditanamkan melalui buku "Siaga" itu antara lain tentang perlunya memperhatikan dan memuji anggota keluarga yang memperhatikan karakter yang baik, mengenali dan memperhatikan tanda-tanda bahaya, memilih melakukan yang benar sebelum tergoda melakukan yang tidak benar, serta memberitahu orang lain tentang adanya bahaya.

"Keluarga penting memperhatikan masalah kewaspadaan. Mereka harus mampu melihat dan mengelakkan bahaya, terutama untuk anak-anak," katanya.

Ia mengakui hanya bisa melakukan hal sederhana untuk kampung halamannya saat mudik Lebaran 2011 melalui buku "Siaga" dan perjumpaan langsung dengan anak-anak Merapi untuk menyumbangkan karyanya itu. "Semoga tidak sia-sia," katanya. * (ratman/sumber : mlist1001buku)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Literasi Sebagai Kecakapan Hidup

PRINSIP - Dari gerakan literasi adalah berkesinambungan , terintegrasi dan melibatkan semua pemangku kepentingan.Dampak virus Corona Covid ...